Kamis, 15 April 2010

1.
PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR UNTUK PERTANIAN BERKELANJUTAN
--MASALAH DAN SARAN KEBIJAKSANAAN--*)
NYOMAN SUTAWAN
Guru Besar Sosial konomi Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Udayana dan Rektor Universitas Warmadewa
ABSTRACT
This paper discusses problems related to water resources. Based on the study of literatures, some
problems are identified. These are among others: water crisis in some provinces; conflict due to
increasing competition in the use of water amongst various users; water resources degradation;
declining of irrigated agricultural land due to conversion for non agricultural uses; unclear water use
rights; weak coordination among departments in managing water resources; and weaknesses in water
resource policy.
To overcome such problems, appropriate water resources policy is deemed necessary. In order
to sustain the availability of water resources that supports the sustainability of agricultural sector the
following steps need to be taken: increasing and continuing efforts for preservation and protection of
water resources; planning and implementation of programs for thrift and efficient use of water; the
issuance of clear regulations on water use rights; strict control on irrigated land conversion; the
establishment of institution at national level responsible for coordinating and integrating water
resources policy and implementation; and water resources policy adjustments.
Key Words: Water resources problems, sustainable agriculture, water resources policy.
PENDAHULUAN
Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam produksi pangan. Jika air tidak
tersedia maka produksi pangan akan terhenti. Ini berarti bahwa sumberdaya air menjadi faktor kunci
untuk keberlanjutan pertanian khususnya pertanian beririgasi. Pertanian berkelanjutan
(sustainable agriculture) secara sederhana diartikan disini sebagai upaya memelihara, memperpanjang,
meningkatkan dan meneruskan kemampuan produktif dari sumberdaya pertanian untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi pangan. Guna mewujudkan pertanian berkelanjutan, sumberdaya pertanian seperti
air dan tanah yang tersedia perlu dimanfaatkan secara berdaya guna dan berhasil guna. Kebutuhan akan
sumberdaya air dan tanah cenderung meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk dan perubahan
gaya hidup, sehingga kompetisi dalam pemanfaatannya juga semakin tajam baik antara sektor pertanian
dengan sektor non-pertanian maupun antar pengguna dalam sektor pertanian itu sendiri.
*) Pernah disampaikan pada Seminar ”Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Tanah dan Air yang Tersedia untuk
Keberlanjutan Pembangunan, Khususnya Sektor Pertanian”, diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Sosial
Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana pada tanggal 28 April 2001 di Auditorium Universitas
Udayana..
2
Makalah ini mencoba membahas berbagai permasalahan yang terkait dengan sumberdaya air.
Beranjak dari permasalahan tersebut selanjutnya diketengahkan langkah-langkah kebijaksanaan yang
kiranya perlu ditempuh dalam pengelolaan sumberdaya air guna mendukung pertanian bekelanjutan.
PERMASALAHAN SUMBERDAYA AIR
Berbagai permasalahan sumberdaya air antara lain adalah sebagai berikut:
1. Adanya Gejala Krisis Air
Gejala krisis air rupanya sudah mulai nampak dewasa ini. Krisis air dapat diukur dari Indeks
Penggunaan Air (IPA) yaitu rasio antara penggunaan dan ketersediaan air. Semakin tinggi angka IPA
semakin memprihatinkan ketersediaan air di suatu wilayah. Apabila angka IPA berkisar antara 0,75–
1,0 maka dikatakan keadaan “kritis”.Jika lebih dari 1,0 maka suatu wilayah dikatakan “sangat kritis”
atau defisit air, sedangkan jika IPA -nya berkisar antara 0,30 – 0,60 tergolong “normal” dari segi
ketersediaan air . Pada tahun 2000 diperkirakan Jawa, Madura dan Bali sudah termasuk kategori
“sangat kritis” karena untuk Jawa dan Madura diduga mempunyai IPA sebesar 1,89 dan Bali 1,13.
Nusa Tenggara Barat tergolong dalam keadaan “kritis” dengan IPA 0,92. Di daerah-daerah lain kecuali
Nusa Tenggara Timur ( dengan IPA sekitar 0,73) kondisinya relatif masih baik karena mempunyai IPA
di bawah 0,50 ( Osmet, 1996; dan Sugandhy, 1997).
Terjadinya krisis air dapat dipicu oleh sikap dan prilaku masyarakat yang cenderung boros
dalam memanfaatkan air karena air sebagai milik umum (common property) dianggap tidak terbatas
adanya dan karenanya dapat diperoleh secara cuma-cuma atau gratis. Padahal, air sebagai sumberdaya
alam, adalah terbatas jumlahnya karena memiliki siklus tata air yang relatif tetap. Ketersediaan air
tidak merata penyebarannya dan tidak pernah bertambah.
Selain itu tingkat efisiensi pemanfaatan air melalui jaringan irigasi yang masih rendah kiranya
dapat menjadi kendala dalam upaya menurunkan IPA. Diperoleh informasi bahwa dari penelitian di
berbagai negara Asia kurang lebih 20% air irigasi hilang di perjalanan mulai dari dam sampai ke
jaringan primer; 15 % hilang dalam perjalanannya dari jaringan primer ke jaringan sekunder dan
tersier; dan hanya 20% yang digunakan pada areal persawahan secara tidak optimal. Diperkirakan
tingkat efisiensi jaringan irigasi hanya sekitar 40% (Yakup dan Nusyirwan, 1997).
Sebagai akibat dari persaingan dalam pemanfaatan air akan semakin tajam pada masa-masa
mendatang, maka dapat diantisipasi bahwa air terlebih lagi air bersih (air minum) relatif semakin
langka dan karenanya akan menjadi economic good. Suatu saat mungkin akan terjadi suatu situasi
dimana kalau si pengguna tidak punya uang untuk membayar air yang dibutuhkannya maka ia tidak
akan mendapatkan air (“no money no water”). Dengan demikian maka orang akan terpaksa harus
3
berhati-hati dan hemat dalam menggunakan air termasuk air untuk irigasi. Dengan kata lain, gejala
krisis air menuntut pengelolaan sumberdaya air yang lebih cermat , lebih hemat dan lebih efisien.
2. Degradasi Sumberdaya Air
Keluhan-keluhan disertai protes oleh masyarakat tentang adanya pencemaran air telah
bermunculan di beberapa tempat sebagai akibat adanya limbah industri termasuk limbah dari industri
pariwisata seperti hotel dan restoran. Kecenderungan menurunnya kualitas air akan meningkat seiring
dengan meningkatnya perkembangan industri yang mengeluarkan limbah, pertumbuhan perumahan
secara eksponensial dan pertambahan penggunaan bahan-bahan organik sintetis. Di Bali misalnya
pemerhati lingkungan telah mendesak pihak hotel untuk melakukan program penanggulangan limbah
karena akumulasi limbah hotel dan rumah tangga di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar diyakini
sudah tergolong memprihatinkan yaitu telah mencapai 24%, sedangkan pencemaran air sungai di
seluruh Bali secara umum mencapai 7% (Bali Post, Kamis 12 April 2001).
Intrusi air laut juga telah terjadi di beberapa tempat karena eksploitasi yang berlebihan terhadap
air tanah. Pembabatan hutan dengan semena-mena tanpa kendali mengakibatkan berkurangnya
kuantitas air dan tidak jarang menimbulkan banjir terutama pada musim penghujan. Air tanah dan air
permukaan mulai terkontiminasi zat-zat kimia yang mengandung racun akibat limbah industri,
limbahan dari saluran irigasi yang mengandung pestisida maupun limbah domestik. Degradasi
sumberdaya air dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan masyarakat. Air irigasi yang tercemar
juga dapat berakibat buruk terhadap hasil panen, sehingga secara keseluruhan tercemarnya sumberdaya
air dapat mengancam kesejahteraan masyarakat.
3. Konflik Akibat Persaingan yang Semakin Tajam antar Pengguna Air
Meningkatnya pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk serta pembangunan di segala
bidang menuntut terpenuhinya kebutuhan akan air yang terus meningkat baik dari segi kuantitas
maupun kualitasnya.Persaingan yang menjurus ke arah konflik kepentingan dalam pemanfaatan air
antara berbagai sektor terutama antara sektor pertanian dan non- petanian cenderung meningkat di
masa-masa mendatang. Hal ini dapat dipahami karena air yang sebelumnya dimanfaatkan lebih banyak
untuk pertanian, sekarang dan di masa-masa mendatang harus dialokasikan juga ke sektor non-prtanian.
Sebenarnya konflik akibat persaingan dalam pemanfaatan air sudah sering terjadi di kalangan
petani padi sawah, terutama di tempat-tempat yang langka air, lebih-lebih lagi pada musim kemarau
seperti misalnya pada kasus subak di Bali. Konflik antar petani dalam pemanfaatan air irigasi,
4
biasanya terjadi antara kelompok petani hulu dan kelompok petani hilir, namun pada umumnya tidak
berkepanjangan dan tidak sampai menimbulkan bentrokan fisik.
Akibat persaingan yang semakin tajam dalam pemanfaatan air maka di masa yang akan datang
konflik akan timbul bukan saja antar petani tetapi juga antara kelompok petani melawan kelompok
bukan petani. Kasus petani-petani di Desa Penebel ,Bali yang memprotes keras pengambilan air di Yeh
Gembrong oleh Pemda Tabanan untuk kebutuhan air minum sekitar tahun 1990-an, adalah satu contoh
nyata akibat persaingan pemanfaatan air. Demikian juga halnya kasus di Kabupaten Bandung, Jawa
Barat, yaitu pengusiran petugas PDAM oleh 300 orang petani bersama penduduk di tiga kampung
sekitar Daerah Irigasi Ciherang. Petani-petani marah karena petugas PDAM menggali pipa air di
Daerah Irigasi Ciherang untuk menyadap air di bagian hulu Sungai Cisangkuy yang juga merupakan
sumber air bagi petani Ciherang (Kurnia, G. dkk., 1996). Masih banyak konflik pemanfaatan air yang
juga terjadi di daerah-daerah lain seperti pernah diberitakan oleh berbagai media masa.
4. Menyusutnya Lahan Pertanian Beririgasi Akibat Alih Fungsi
Alih fungsi lahan pertanian untuk tujuan non-pertanian merupakan proses yang tidak
terhindarkan. Hal ini disebabkan karena adanya ledakan jumlah penduduk yang menunutut
pertambahan pemukiman , transportasi, pembangunan industri dan berbagai prasarana fisik untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia modern yang semuanya itu niscaya membutuhkan tanah.
Misalnya selama kurun waktu 1984-1990 di Jawa Barat telah terjadi alih fungsi lahan sawah untuk
non-pertanian seluas 27.768 ha atau rata-rata 5.554 ha per tahun. Selanjutnya di Jawa dan Bali, selama
periode 1981- 1986 luas lahan sawah yang telah beralih fungsi mencapai 224.184 ha dengan rata-rata
37.364 ha / tahun. Dari sawah seluas 224.184 ha itu 55,77% masih dipergunakan sebagai lahan
pertanian sedangkan sisanya sebanyak 44,23 % dialih -fungsikan ke non-pertanian (Nasoetion dan
Winoto, 1996 ).
Hasil penelitian JICA seperti dikutip oleh Kurnia, dkk (1996) menunjukkan bahwa mulai tahun
1991 sampai tahun 2020 diperkirakan konversi lahan beririgasi di seluruh Indonesia akan mencapai
807.500 ha ( untuk Jawa sekitar 680.000 ha; Bali 30.000 ha; Sumatera 62.500 ha dan Sulawesi 35.000
ha ). Khusus untuk Bali, dalam beberapa tahun belakangan ini areal persawahan yang telah beralih
fungsi diperkirakan mencapai 1.000 ha per tahun. Penciutan lahan sawah ini sungguh pesat, lebih-lebih
di sekitar kota karena dipicu oleh harga tanah yang meroket, sehingga pemilik sawah tergoda untuk
menjual sawahnya.
5
Alih fungsi lahan sawah beririgasi ke non-pertanian merupakan proses yang bersifat
irreversible atau tidak dapat balik.Alih fungsi lahan cenderung diiringi dengan perubahan-perubahan
orientasi ekonomi,sosial,budaya ,dan politik masyarakat yang umumnya juga bersifat irreversible
(Nasoetion dan Winoto. 1996).
Khusus untuk kasus di Bali, jika penyusutan areal sawah beririgasi terus berlanjut ,
dikhawatirkan organisasi subak yang merupakan warisan leluhur dan sudah terkenal sampai ke manca
negara akan terancam punah. Kalau subak hilang, apakah kebudayaan Bali tidak akan mengalami
degradasi karena diyakini bahwa subak bersama lembaga tradisional lainnya seperti banjar dan desa
adat merupakan tulang punggung kebudayaan Bali. Selain dari pada itu yang tidak kalah
memprihatinkannya adalah jika sawah beririgasi sudah tidak ada lagi maka lenyap pula fungsi sawah
sebagai pengendali banjir dan pelestarian lingkungan ( flood control and environment preservation).
Banjir yang terjadi di beberapa kota besar di Jepang seperti Ichikawa di Propinsi Chiba, Soka di
Propinsi Saitama dan Ueno di Propinsi Mie menurut Nagata (1991) disebabkan karena menciutnya
areal persawahan di sekitar kota-kota tersebut. Pemerintah setempat telah berusaha keras
menanggulangi masalah banjir itu melalui berbagai program, diantaranya program drainase, dan
program pemberian subsidi untuk memperlambat proses alih fungsi sawah beririgasi.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya air, apabila alih fungsi sawah terjadi di
bagian hulu atau tengah dari sistem irigasi, maka pemilik sawah di bagian hilir akan terkena
dampaknya yakni berupa pengurangan air secara langsung karena dimanfaatkan untuk kepentingan lain
atau bisa sama sekali tidak lagi memperoleh air jika alih fungsi tersebut sampai merusak saluran dan
bangunan irigasi yang ada (Kurnia, dkk. 1996).
5. Kurang Jelasnya Ketentuan Hak Penguasaan Air
Pemerintah memang sebenarnya telah menetapkan susunan prioritas penggunaan air dengan
urutan kepentingan sebagai berikut: (1) air minum, rumah tangga, pertahanan / keamanan , peribadatan,
dan usaha perkotaan; (2) pertanian dalam arti luas yaitu termasuk peternakan, perkebunan dan
perikanan; dan (3) ketenagaan, industri, pertambangan, lalu lintas dan rekreasi. Akan tetapi pada
kenyataannya , urutan prioritas yang kedua yakni pertanian, sering dikalahkan oleh urutan prioritas
ketiga seperti misalnya untuk kebutuhan pembangunan industri. Dalam hal seperti ini, keberlanjutan
pertanian di hilir sungai bisa terancam akibat pemberian izin oleh pemerintah atas pengambilan air di
hulu sungai untuk keperluan industri yang tidak jarang menimbulkan pencemaran sungai.
6
Perangkat peraturan dan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini rupanya belum secara
tegas dan eksplisit memberikan jaminan kepastian hukum dalam memperoleh hak guna air kepada
petani yang sudah berlangsung secara turun temurun. Para petani yang sudah berabad-abad
memanfaatkan air sungai untuk keperluan irigasi ada dalam posisi yang lemah. Jika ada pendatang baru
seperti misalnya PDAM atau bahkan pengusaha air minum kemasan yang mengambil air di hulu
sungai,maka terpaksa harus mengalah dengan resiko mengalami gagal panen atau tidak bisa
melanjutkan usahataninya karena kekurangan air. Jika ini terus berlanjut dan meluas maka
keberlanjutan pertanian bisa terancam.
Tidak jelasnya hak penguasaan air yang dimiliki oleh para pengguna air khususnya air di
sepanjang sungai dapat memicu konflik antar pemanfaat air seperti kasus-kasus yang telah diuraikan
sebelumnya. Oleh sebab itu, pengaturan alokasi air sungai yang jelas dan adil kepada para pengguna
(pertanian, pemukiman, industri, dll) perlu diupayakan melalui perangkat peraturan dan perundangundangan.
Mengingat air berfungsi sosial dan harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
maka hak-hak masyarakat setempat atas sumberdaya air yang ada perlu dilindungi. Sementara itu,
kepentingan masyarakat luas untuk mendapatkan air besih juga harus diperhatikan.
6. Lemahnya Koordinasi antar Instansi dalam Menangani Sumberdaya Air
Dalam menangani sumberdaya air di Indonesia ternyata banyak instansi yang terlibat. Dalam
kabinet pemerintahan terdahulu, instansi yang terlibat adalah: Depertemen Pekerjaan Umum(DPU);
Depertemen Pertanian; Departemen Kehutanan; Departemen Kesehatan; Departemen Pertambangan;
Departemen Pariwisata,Pos dan Telekomunikasi; Departemen Perhubungan; dan Kantor Menteri
Negara dan Lingkungan Hidup. Masing-masing departemen merencanakan dan melaksanakan
kegiatannya sendiri secara parsial dan sektoral , hampir tidak ada koordinasi antara satu dengan
lainnya. Akibatnya, kegiatan sering tumpang tindih dan bahkan ada kalanya tidak saling mendukung.
(Martius, 1997; dan Mahar, 1999).
Seperti dicontohkan oleh Mahar (1999), perencanaan pengelolaan sungai oleh DPU tidak
sinkron dengan perencanaan pengelolaan daerah tangkapan (catchment area) yang dilakukan oleh
Departemen Kehutanan, sehingga tidak mustahil bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) yang seharusnya
perlu segera diberikan penanganan khusus, justru terjadi sebaliknya karena pengelolaannya masih
parsial .
7
7. Kelemahan dalam Kebijaksanaan Sumberdaya Air
Kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan sumberdaya air di Indonesia
selama ini masih mengandung beberapa kelemahan. Antara lain ( Osmet, 1996; dan Helmi, 1997): (1)
masih berorientasi pada segi penyediaan (supply-side management); (2) lebih menekankan pada
pengembangan satu sistem irigasi dan kurang memperhatikan keterkaitan hidrologis antar sistem dalam
satu sungai; (3) lebih berorientasi pada pengembangan jaringan utama sistem irigasi; dan (4) arena
pengelolaan air ada pada tingkat sistem irigasi bukan pada tingkat sungai.
Ciri-ciri dari supply-side management seperti dikemukakan oleh Osmet (1996) antara lain: air
diperlakukan sebagai sumberdaya yang ketersediannya tidak terbatas; peran pemerintah sangat
dominan dengan fungsi utama menyediakan air kepada pengguna dengan biaya yang relatif rendah dan
bahkan gratis seperti dalam bidang irigasi; lebih menekankan pada pengembangan sarana dan prasarana
fisik dengan perhatian utama terpusat pada efisiensi teknis. Memang pendekatan pada sisi persediaan
seperti ini telah berhasil dalam meningkatkan produksi pangan namun tidak luput dari kelemahan.
Yaitu, mengakibatkan ketergantungan petani kepada pemerintah menjadi begitu kuat. Jika ada
keperluan perbaikan jaringan irigasi petani cenderung bersikap menunggu saja dan berharap agar
pemerintah segera turun tangan.
Implikasi dari kebijaksanaan yang berorientasi pada pembangunan satu sistem irigasi tanpa
memperhatikan keterkaitan hidrologis adalah bahwa alokasi air yang sebelumnya tidak bermasalah
akhirnya bisa jadi bermasalah jika tiba-tiba di hilir terganggu karena ada bendung baru yang dibangun
di hulu sungai.
Selanjutnya, kebijaksanaan yang diorentasikan pada pembangunan jaringan utama dalam arti
membangun atau memperbaiki bangunan pengambilan permanen seperti bendung dan
mempermanenkan saluran utama, dalam banyak kasus dapat menyulut konflik antar kelompok petani
hilir dan hulu. Kebijaksanaan seperti ini menciptakan timbulnya rasa ketidak- adilan di kalangan para
petani. Sebab, yang lebih menikmati bertambahnya ketersediaan air pada sistem irigasi yang
bersangkutan adalah petani yang sawahnya paling dekat dengan sumber air.
Arena pengelolaan air yang terpusatkan pada masing-masing sistem irigasi lebih menekankan
pada urusan bagaimana air dipergunakan dalam sistem irigasi yang bersangkutan tanpa memperhatikan
bagaimana ketersediaan air di sungai dapat ditingkatkan dan dialokasikan secara lebih adil antara
sistem irigasi di sepanjang sungai. Pada umumnya sistem irigasi di hilir sungai cenderung kekurangan
air terutama pada musim kemarau, sedangkan yang di hulu mendapat air secara berlebihan dan
umumnya boros menggunakan air. Tanpa pengorganisasian pola alokasi air yang baik antar sistem
8
irigasi di sepanjang sungai maka sistem irigasi yang ada di hilir cenderung senantiasa kekurangan air
dan akhirnya bisa mengancam pertanian yang berkelanjutan.
SARAN-SARAN KEBIJAKSANAAN
Menyimak berbagai permasalahan yang berkaitan dengan sumberdaya air seperti terurai di
atas, maka diperlukan langkah-langkah kebijaksanaan yang meliputi:
Pelestarian dan Perlindungan Sumberdaya Air
Pelestarian dan perlindungan sumberdaya air untuk menjamin keberlanjutan tata air dan pada
akhirnya juga keberlanjutan pertanian perlu lebih ditingkatkan. Beberapa cara dapat ditempuh seperti
misalnya:
(1) Pelaksanaan analisa dampak lingkungan bagi proyek-proyek pembangunan atau investasi.
Proyek yang secara potensial dapat mengganggu kelestarian sumberdaya air agar secara tegas
dilarang atau dihentikan.
(2) Penerapan aturan siapa yang melakukan pencemaran dialah yang harus menanggung beban
biaya penanggulangan pencemaran tersebut (polluters pay principle ) dan kepada pelakunya
juga harus dikenai sanksi sesuai aturan yang berlaku.
(3) Pengendalian pencemaran atas mutu sumberdaya air dengan cara antara lain: (a) pengolahan
air tercemar pada badan-badan air seperti sungai dan danau; (b) pengolahan air limbah pada
sumber-sumber tercemar seperti pabrik dan pemukiman; dan (c) pengembangan teknologi
pengendalian pencemaran
(4) Penerapan teknologi irigasi air limbah. Irigasi air limbah adalah suatu metode pengolahan air
limbah yang dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian. Teknologi ini telah berkembang pesat
di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Israel dan bahkan India
(Asmanto, 1993).
(5) Rehabilitasi kerusakan daerah hulu sungai (daerah tangkapan). Kerusakan daerah hulu sangat
fatal karena dapat mengakibatkan banjir. Adanya erosi karena penggundulan hutan di daerah
hulu berakibat pengendapan lumpur pada waduk dan bangunan irigasi. Rehabilitasi kerusakan
daerah tangkapan dapat dilakukan antara lain melalui penghijauan dan reboisasi.
9
Perencanaan dan Pelaksanaan Program Hemat Air
Gerakan Hemat Air yang telah dicanangkan oleh pemerintah sejak tanggal 16 Oktober 1994
perlu ditindak lanjuti dengan perencanaan dan pelaksanaan program hemat air sehingga menjadi lebih
operasional guna mencegah terjadinya krisis air di masa depan. Program-program yang relevan antara
lain kampanye secara nasional tentang arti pentingnya penghematan air; penyusunan peraturan dan
kebijakan yang secara eksplisit mengatur hemat air; penerapan teknologi yang lebih efisien dalam
pemanfaatan air; dan penerapan tehnik budidaya tanaman yang dapat menghemat air.
Pengendalian Alih Fungsi Lahan Beririgasi
Guna menghindari berbagai kerugian dan dampak negatif dari alih fungsi lahan maka daerahdaerah
yang telah memiliki Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) perlu memberlakukan RUTR itu
secara ketat dan konsisten. Bagi daerah-daerah yang belum memilikinya, agar menyusun RUTR
dengan memasukkan potensi dan kebutuhan air pada wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya RUTR
yang telah disepakati agar disosialisasikan kepada masyarakat dan para perancang dan pelaku program
pembangunan.
Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan dalam rangka pengendalian alih fungsi lahan selain
penyusunan dan pemberlakuan RUTR secara tegas adalah:
(1) Penetapan mekanisme ganti rugi aset negara dan masyarakat yang terkena alih fungsi misalnya
fasilitas irigasi yang tidak dapat berfungsi lagi; dan ganti rugi bagi petani karena air irgasinya
terputus.
(2) Berbagai peraturan dan perundangan yang telah dibuat oleh pemerintah dalam upaya
pengendalian alih fungsi lahan agar benar-benar ditegakkan secara konsekuen dengan sanksi
yang tegas tanpa pandang bulu terhadap siapa saja yang melanggar.
(3) Jika diizinkan akan ada alih fungsi maka organisasi P3A beserta PU Pengairan perlu dilibatkan
dalam pengambilan keputusan guna menghindari timbulnya konflik di belakang hari.
Pembuatan Peraturan tentang Hak Guna Air
Peraturan atau perundang-undangan tentang hak guna air sangat diperlukan untuk
mengantisipasi meningkatnya kompetisi pemanfaatan air yang cenderung memicu konflik antar
pengguna air. Peraturan ini agar secara jelas memberikan perlindungan terhadap hak pengguna air.
Peraturan tentang hak guna air harus jelas, aman, bisa ditransfer dan adil bagi semua pihak yang
membutuhkan. Hak historis pengguna pertama perlu mendapat perhatian. Dalam peraturan ini mungkin
10
ada baiknya jika ketentuan-ketentuan mengenai kriteria dan prosedur pemberian izin pemanfaatan air
juga dicantumkan.
Pembentukan Lembaga di Tingkat Nasional untuk Menangani Sumberdaya Air
Mengingat kompleksitas permasalahan sumberdaya air dan begitu banyaknya instansi yang
terlibat dalam menanganinya sehingga sering berakibat tidak adanya senergi pengelolaan, maka perlu
dipertimbangkan adanya suatu lembaga yang khusus mengurus dan mengatur sumberdaya air secara
terpadu. Apapun nama lembaganya, apakah itu Badan Air Nasional, ataukah Badan Pengelola
Sumberdaya Air kiranya tidak begitu penting. Yang penting adalah bahwa lembaga itu diberikan tugas
untuk mengkoordinasikan pengelolaan sumberdaya air yang meliputi koordinasi dan integrasi
kebijaksanaan termasuk koordinasi dan integrasi operasionalnya.
Penyesuaian Kebijaksanaan Sumberdaya Air
Perlu ada penyesuaian atau reorientasi kebijaksanaan di bidang sumberdaya air yang mencakup
hal-hal sebagai berikut:
(1) Pengelolaan sumberdaya air yang berorientasi pada sisi persediaan (supply-side management)
perlu diorientasikan ke arah pengelolaan sumberdaya air yang memperhitungkan nilai air dalam
kaitannya dengan biaya penyediaan dan memperlakukan air sebagai barang ekonomi ( demandside
management)
(2) Kebijakan sumberdaya air yang menekankan pada pengembangan pada satu sistem irigasi perlu
disesuaikan yakni menuju pengembangan dan pengelolaan air dalam satu daerah aliran sungai
(DAS) yang memperhatikan keterkaitan antara berbagai pengguna air sepanjang sungai,
keterkaitan antara air permukaan dan air tanah, perlindungan daerah tangkapan (catchment
area) serta mengembangkan sistem pengelolaan one river, one management.
(3) Pengelolaan secara tersentralisasi agar dirubah menjadi terdesentralisasi yaitu dengan melibatkan
berbagai pengguna khususnya kelembagaan lokal seperti P3A yang ada dalam setiap tahapan
kegiatan keirigasian mulai dari perencanaan, pemeliharaan sampai pemanfaatan. Pemerintah
telah menyadari akan kelemahan dari pendekatan yang tersentralisasi dalam pengelolaan
sumberdaya air. Oleh sebab itu, sejak beberapa tahun terakhir ini pemerintah telah memberikan
kewenangan yang lebih besar kepada P3A dalam pengelolaan jaringan irigasi. Ini terbukti dari
adanya program PIK (Penyerahan Irigasi Kecil) untuk sistem irigasi yang kurang dari 500 ha ,
sedangkan untuk yang di atas 500 ha petani diwajibkan membayar iuran atas pelayan irigasi (
11
IPAIR). Sebegitu jauh belum banyak ada laporan evaluasi yang mendalam tentang pelaksanaan
program-progaram ini.
(4) Dalam rangka implementasi program PIK dan IPAIR perlu kiranya memotivasi petani agar
menjadikan P3A sebagai lembaga irigasi yang mampu berfungsi ganda yakni selain sebagai
pengelola sistem irigasi dalam kegiatan operasi dan pemeliharaan (OP) tetapi juga sebagai
pengelola agribisnis.
(5) Dalam pengelolaan irigasi, para petani perlu dimotivasi untuk membentuk wadah koordinasi
antar P3A atau Federasi P3A baik dalam lingkungan satu sistem irigasi yang terdiri dari
beberapa P3A maupun dalam lingkungan yang lebih luas yaitu daerah aliran sungai (DAS). Hal
ini dimaksudkan agar air dapat dialokasikan secara lebih adil berdasarkan kesepakatan semua
P3A yang terkait. Selain itu, melalui Federasi P3A ini pengaturan dan ketentuan pola tanam dan
jadwal tanam yang mendukung pemanfaatan air secara lebih efisien dan adil dapat dirumuskan
bersama.
(6) Tanggung jawab pengelolaan DAS memang seyogyanya ada dalam satu tangan. Sebab, DAS
merupakan satu kesatuan topografi, satu kesatuan tata air dan satu kesatuan ekosistem dengan
batas-batas geografis yang jelas sehingga wajar jika dikelola dalam satu kesatuan managemen.
Dengan demikian, maka perencanaan pemanfaatan air sungai dan pengembangan sumberdaya air
dalam DAS dapat disesuaikan antara kebutuhan dan potensi yang tersedia (Mahar, 1999).
Meskipun otonomi segera akan diberlakukan, maka dalam kaitannya dengan pengelolaan sungai,
tidak berarti bahwa tiap propinsi lebih-lebih lagi kabupaten harus diberikan kewenangan penuh
dalam pengelolaannya. Ini disebabkan karena banyak sungai yang melintasi beberapa kabupaten
dan bahkan beberapa propinsi. Jadi dalam hal ini tanggung jawab atau koordinasi pengelolaan
sebaiknya ada di tangan pemerintah pusat untuk sungai yang melintasi beberapa propinsi dan di
tangan pemerintah propinsi bagi sungai yang melintasi beberapa kabupaten.
PENUTUP
Beberapa masalah sumberdaya air telah diidentifikasi dan dibahas secara singkat. Permasalahan
tersebut antara lain: (1) adanya gejala krisis air; (2) meningkatnya konflik akibat persaingan
pemanfaatan air yang semakin tajam; (3) menurunnya kualitas sumberdaya air; (4) menyusutnya lahan
pertanian beririgasi akibat alih fungsi; (5) tidak jelasnya ketentuan hak atas air; (6) lemahnya
koordinasi antar departemen dalam menangani sumberdaya air; dan (7) adanya beberapa kelemahan
dalam kebijaksanaan sumberdaya air.
12
Guna mengatasi permasalahan tersebut di atas, diperlukan langkah-langkah kebijaksanaan yang
kiranya perlu ditempuh oleh para pengambil keputusan yaitu antara lain sebagai berikut: (1)
peningkatan upaya-upaya pelestarian dan perlindungan sumberdaya air; (2) perencanaan dan
pelaksanaan program hemat air; (3) pembuatan peraturan dan ketentuan hak guna air; (4) pengendalian
alih fungsi lahan pertanian beririgasi; (5) pembentukan suatu lembaga tingkat nasional untuk mengatur
dan mengurus sumberdaya air; dan (6) penyesuaian kebijaksanaan sumberdaya air.
Hal-hal yang telah diuraikan dalam makalah ini pada hakekatnya hampir tidak ada yang baru.
Sebagian besar telah pernah diwacanakan oleh pakar-pakar dalam berbagai kesempatan. Makalah ini
hanya menghimpun pemikiran dan informasi yang ada dalam berbagai kepustakaan seperti tertuang
dalam Daftar Pustaka. Walaupun demikian semoga masih bermanfaat dan dapat merangsang diskusi
lebih lanjut guna menelorkan gagasan cemerlang dalam mengantisipasi krisis air di masa depan dengan
berbagai implikasinya. Bagaimanapun juga makalah ini sangat terbuka untuk mendapat kritik dan
tanggapan dari berbagai pihak.
DAFTER PUSTAKA
Anonim, 2001. “Memprihatinkan Limbah Hotel dan Rumah Tangga di Badung dan Denpasar”,. dalam
Bali Post, Kamis 12 April.
Atmanto, Sudar Dwi., 1993. “ Pertanian dan Irigasi Air Limbah.”, dalam Irigasi Petani No.11/V/1993.
hlm. 1-3, Jakarta: Pusat Studi dan Pengembangan Irigasi (PSPI), LP3ES.
Helmi., 1997. “ Kearah Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan: Tantangan dan Agenda
untuk Penyesuaian Kebijaksanaan dan Birokrasi di Masa Depan”. Dalam VISI Irigasi
Indonesia Nomor 13 (7) 1997.hlm. 3-12, Jakarta: Pusat Studi Irigasi Universitas Andalas.
Mahar, Mahyudi., 1999. “ Pendekatan Watershed Management dalam Pengelolaan Sungai”, dalam
Dinamika Petani No. 34 Tahun X / 1999. hlm. 10-14.Jakarta: Pusat Studi Pengembangan
Sumberdaya Air dan Lahan (PSDL), LP3ES.
Martius, Endry., 1997. Penyesuaian Peran Birokrasi dan Pemberdayaan Ekonomi Petani: Etika
Pendayagunaan Sumberdaya Air di Indonesia”, dalam VISI Irigasi Indonesia Nomor 13 (7)
1997. hlm. 12-32. Padang: Pusat Studi Irigasi Universitas Andalas.
,
Nagata, Keijiro., 1991. “The Maturation of the Japanese Economy and the Role of Agriculture”, dalam
The Committee for the Japanese Agriculture Session, XXI IAEE Conference (ed). Agriculture
and Agricultural Policy in Japan., hlm.189-201,Tokyo: University of Tokyo Press.
13
Nasoetion , Lufti dan Joyo Winoto., 1996. “ Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya
Terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan”, dalam Hermanto., Pasaribu, Sahat M..,
Djauhari, A., dan Sumaryanto (eds): Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan
Air:Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan., hlm.64-82. Jakarta: Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian .
Kurnia, G., Arianto, T., Judawinata, R., Sufyandi,A., Rija., dan D. Hermajanda. 1996. “Persaingan
dalam Pemanfaatan Sumberdaya Air”, dalam Hermanto, Pasaribu., Sahat M.., Djauhari, A.,
dan Sumaryanto (eds): Persaingan dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan
Air:Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Swasembada Pangan. hlm.190-207. Jakarta: Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian .
Osmet.,1996. “Sistem Pengelolaan Air Menunjang Pembangunan Pertanian yang Berkelanjutan”,
dalam Hermanto., Pasaribu, Sahat M.., Djauhari, A., dan Sumaryanto (eds): Persaingan dalam
Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air:Dampaknya Tergadap Keberlanjutan Swasembada
Pangan.hlm.208-225. Jakarta: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
Sugandhy, Aca., 1997. “Kebijaksanaan dan Strategi Pengelolaan Sumberdaya Air”, Makalah pada
Seminar Pengembangan dan Pengelolaan Sumberdaya Air Tingkat Nasional diselenggarakan
oleh Deputi Bidang Prasarana BAPPENAS, di Jakarta tanggal 30 September 1997.
Yakup dan Nusyrwan, 1997. “ Reaktualisasi Pengelolaan Air dan Kelembagaan Petani”, dalam
Dinamika Petani No.30 Tahun 1997. hlm.1-4. Jakarta: Pusat Studi Pengembangan
Sumberdaya Air dan Lahan (PSDL), LP3ES.

1 komentar:

  1. Saya tidak bisa cukup berterima kasih kepada layanan pendanaan lemeridian dan membuat orang tahu betapa bersyukurnya saya atas semua bantuan yang telah Anda dan staf tim Anda berikan dan saya berharap untuk merekomendasikan teman dan keluarga jika mereka membutuhkan saran atau bantuan keuangan @ 1,9% Tarif untuk Pinjaman Bisnis. Hubungi Via:. lfdsloans@lemeridianfds.com / lfdsloans@outlook.com. WhatsApp ... + 19893943740. Terus bekerja dengan baik.
    Terima kasih, Busarakham.

    BalasHapus