Kamis, 15 April 2010

Diperlukan "Obat" Mujarab Atasi Masalah Pertanian [Ekonomi dan Keuangan]Diperlukan \"Obat\" Mujarab Atasi Masalah Pertanian

PADA triwulan pertama tahun 2007, di Indonesia sempat mengalami permasalahan pangan yang dicirikan dengan melonjaknya harga beras. Kenaikan harga beras ini dipicu oleh ketiadaan stok secara nasional. Adanya peristiwa ini, menyadarkan bahwa ada sesuatu yang salah dalam sistem ketahanan pangan maupun pertanian kita.
Kalau kita lihat secara mendalam, masalah pertanian sangat terkait dengan kondisi iklim yang ada. Akhir-akhir ini, terjadi sebuah perubahan pola iklim secara global yang dipicu karena adanya pemanasan global. Perubahan ini berdampak pada pola tanam yang ada di Indonesia.
Tidak bisa tidak, para petani pun harus menyesuaikan dengan kondisi ini. Mengingat kebanyakan petani di Indonesia masih dalam kriteria gurem dan tergantung dengan alam.
Untuk mengubah pola tanam tersebut, pemerintah terutama departemen pertanian, harus kembali melakukan pengkajian terhadap pola tanam yang sudah ada. Yaitu dengan melakukan kembali pengamatan lapangan. Kemudian mengawasi perubahan cuaca, curah hujan, serta datangnya musim penghujan lebih seksama.
Dengan hasil pengamatan tersebut, pemerintah akan merumuskan bagaimana sistem tanam yang baik dan mensosialisasikannya kepada masyarakat.
Namun perlu diakui, permasalahan iklim merupakan permasalahan global. Jadi, pemerintah seharusnya secara intensif membangun kerjasama dengan dunia internasional, guna mengurangi dampak dari pemanasan global tersebut.
Permasalahan kedua adalah rusaknya hutan, kerusakan irigasi teknis, serta berkurangnya lahan pertanian karena pembagunan yang tidak berpola. Akibatnya, Indonesia seringkali mengalami bencana alam, baik itu banjir serta tanah longsor.
Rusaknya irigasi teknis mengakibatkan semakin berkurangnya lahan yang bisa dijangkau sistem irigasi tersebut. Dampak akhirnya adalah semakin berkurangnya lahan subur, yang memicu semakin berkurangnya produksi petani.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah harus mulai memperbaiki sarana irigasi teknis yang sudah ada, serta mengadakan reboisasi lebih intensif. Langkah ini diambil guna meningkatkan cadangan air tanah dan memfungsikan hutan sebagai serapan air hujan.
Agar lahan pertanian semakin tidak berkurang, pemerintah harus menetapkan dengan tegas mana daerah untuk industri, daerah pemukiman serta daerah pertanian. Namun, tentu saja hal ini harus disesuaikan dengan kondisi setempat.
Ketiga, politik pertanian yang kurang berpihak pada petani. Sebut saja ketika panen raya tiba, pemerintah terkesan enggan untuk membeli beras petani. Dan lebih mengutamakan beras impor sebagai primadona solusi pemenuhan kebutuhan stok pangan nasional.
Sudah saatnya pemerintah mengubah prioritas kebijakannya. Mengingat 50 persen masyarakat Indonesia masih berada di bawah batas kemiskinan, dan sebagian besar di antaranya masyarakat desa yang notabene-nya petani.
Ketidakjelasan politik pertanian pemerintah juga bisa dilihat dari cukup luasnya lahan kosong yang dapat mengakibatkan kurang intensifnya pengolahan lahan. Untuk mengatasi lahan kosong ini, pemerintah harus memberikan batasan minimal kepemilikan lahan dan luas garapan, sesuai dengan apa yang tercantum dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Keempat, UU tentang Ketahanan Pangan yang belum tersosialisasi. Selama ini ketika pemerintah berbicara mengenai pangan, pasti akan berbicara tentan beras. Sebenarnya esensi ketahanan pangan ini terkait dengan pemenuhan kebutuhan gizi. Jadi ketika beras masih menjadi komoditas utama dan politis, maka permasalahan beras masih akan terus menjadi permasalahan utama.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu kembali mensosialisasikan UU Pangan kepada masyarakat. Ini dilakukan agar tidak terjadi multi tafsir terhadap UU Pangan tersebut. Sebagai pedoman utama, pangan harus terkait dengan masalah gizi. Sehingga dalam pemenuhan pangan pun harus bisa memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang.
Konvensional
Berikutnya, masalah sistem usaha tani padi. Selama ini Indonesia masih menggunakan sistem tanam konvensional dengan mengandalkan alam, penelitian dan pengembangan yang kurang, serta penyuluhan yang jarang dilakukan.
Sebagai solusi permasalahan ini, mungkin pemerintah perlu mengaktifkan kembali berbagai program orde baru yang telah ditinggalkan. Antara lain mengaktifkan kembali Koperasi Unit Desa (KUD), Kelompok Tani. Perlu juga dilakukan kerjasama antara pemerintah dengan pihak akademisi dalam merumuskan berbagai terobosan di bidang pertanian.
Adanya kerjasama pihak universitas maupun cendekiawan pertanian lainnya, bisa menunjang penyebaran teknologi terkini. Selama ini di Indonesia hanya ada sekitar 36 ribu orang. Namun jumlah ini masih sangat kecil dibandingkan jumlah petani yang ada di Indonesia. Dengan adanya kerjasama ini, maka kebutuhan tenaga penyuluh bisa disuplai dari akademisi.
Keenam, tidak adanya action plan. Dengan tidak berjalannya beberapa organisasi yang bersinggungan langsung dengan para petani, maka petani akan melakukan penanaman sesuai dengan apa yang telah dipraktikkan. Tanpa adanya teknologi tepat guna, maka petani akan cenderung konservatif.
Pentingnya action plan adalah guna menciptakan sebuah target, serta memprediksi jika permasalahan berikutnya muncul. Misalnya hama wereng. Jika ada sebuah rencana kerja yang matang, efek wereng ini bisa diminimalisir dengan berbagai cara. Sebut saja menggunakan bibit varietas unggul, pupuk yang cukup, pengairan memadai, serta insektisida yang tepat.
Permasalahan di atas merupakan masalah kekinian yang dihadapi petani. Diperlukan sebuah \"obat\" mujarab yang tepat guna menyelesaikan permasalahan ini. Adanya teknologi, sistem irigasi yang terjaga, serta organisasi pendukung yang kuat bisa mewujudkan sistem pertanian yang sesuai.
Indonesia dengan target penambahan dua juta ton produksi, mempunyai tanggung jawab besar untuk menyelesaikan permasalahan ini. (faizin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar